Dirasat Ilmu Ushul dan Fiqh Al-Jaizy
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." [Q.S. Al-Mujaadilah: 11] Blog ini hanyalah sebagai ajang mendayakan upaya dan mengupayakan daya. Semoga bermanfaat bagi pelajar ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh yang hendak memanfaatkannya.
Sunday, February 3, 2013
Beberapa Syubhat dari Para Penolak Al-Qiyas
Di
antara sikap mereka (orang-orang yang
menolak Al-Qiyas), adalah karena adanya pendapat bahwa al-qiyas itu
berdasarkan dugaan (الظن).
Sedang sesuatu yang didasari oleh dugaan, hasilnya merupakan dugaan juga. Dalam hal ini Allah melarang mengikuti
orang-orang yang bertumpu dari dugaan.
Firman
Allah Ta’ala:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”[1]
Maka,
tidaklah benar hukum berdasarkan al-qiyas karena hanya berdasarkan
dugaan.
Hal
tersebut merupakan keraguan yang lemah. Sebab yang dilarang adalah mengikuti
dugaan dalam hal aqidah. Sedang dalam hal hukum-hukum amaliyyah,
kebanyakan dalil yang ada justru bersifat dzanny (dugaan). Jika keraguan
itu dapat dibenarkan, maka nash-nash dzanny itu dalalah-nya tak
bisa diragukan lantaran mengikuti dugaan (dzann). Berdasarkan konsensus
(اتفاق),
pendapat tersebut sangat keliru lantaran kebanyakan nash, dalalah-nya
adalah dzanny.
Dalil-dalil Mutsbit Al-Qiyas dari Rasio
Mutsbit
Al-Qiyaas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas, berdasarkan pada dalil
Al-Qur’an dan As-Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, dan lain-lain
yang rasional. Kali ini, kita akan membahas dalil rasional untuk menetapkan
qiyas.
Dalil
rasional yang mereka gunakan, ada 3 macam:
1. Allah tidak
mensyari’atkan hukum melainkan demi kemaslahatan. Dan kemaslahatan hamba
merupakan tujuan akhir bagi pembentukan hukum Islam. Karena itu, jika suatu
masalah atau suatu peristiwa yang nash-nya ada illat hukum, maka
akan tampak kenyataan adanya hikmah dan keadilan melaksanakan hukum itu,
sekaligus sebagai manifestasi kemaslahatan yang menjadi tujuan syaari’
dalam pembentukan hukum. Sudah barang tentu keadilan dan kebijaksanaan Allah
akan hilang jika Dia mengharamkan khamr dengan illat memabukkan, tetapi
membolehkan minum-minuman yang mempunyai illat seperti khamr, yakni
memabukkan. Sebab, menghindari hal-hal yang memabukkan adalah untuk memelihara
akal. Sedang upaya pemeliharaannya berarti meninggalkan hal-hal yang
memabukkan.
2. Bahwa nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah tidak mungkin bertambah lagi. Padahal, kejadian
dan permasalahan yang dihadapi umat manusia selalu berkembang. Karenanya, tidak
mungkin nash yang suda tidak akan bertambah itu berdiri sendiri sebagai
sumber hukum bagi permasalahan yang takkan pernah habis. Maka, al-qiyas merupakan
sumber pembentukan hukum yang berjalan bersama dengan peristiwa-peristiwa baru,
sekaligus akan menyibakkan ketentuan hukum syari’at bagi kejadian dan
permasalahan tersebut serta bisa menyesuaikan antara pembentukan hukum dengan
kemaslahatan.
3. Al-Qiyas merupakan dalil yang dikuatkan oleh
naluri ucapan yang selamat dan benar. Karenanya orang yang melarang minum
racun, adalah mengkiaskan dengan larangan minum-minuman yang mengandung racun.
Orang yang dilarang berbuat berlebih-lebihan karena perbuatan tersebut
mengandung penganiayaan kepada yang lain, dengan demikian, dikiaskan dengan
semua perbuatan yang berlebih-lebihan yang mengandung penganiayaan kepada pihak
lain. Kiranya manusia tidak pernah berbeda pendapat tentang adanya dua tanda
yang sama, juga berlaku pada benda lainnya selama tidak ada yang memisahkan
antara kedua benda tersebut.
----------------------------------------
Dinukil dari kitab Ilm Ushuul Al-Fiqh karya
Abdul Wahhab Khalaf
Ditulis ulang dengan sedikit perubahan oleh
Hasan Al-Jaizy
Dalil-dalil Mutsbit Al-Qiyaas dari Perkataan dan Perbuatan Para Sahabat
Mutsbit
Al-Qiyaas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas, berdasarkan pada dalil
Al-Qur’an dan As-Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, dan lain-lain
yang rasional. Kali ini, kita akan membahas dalil perkataan atau perbuatan para
sahabat untuk menetapkan qiyas.
Perbuatan
dan perkataan para sahabat yang membuktikan bahwa al-qiyas merupakan hujjah
syar’iyyah. Para sahabat bersungguh-sungguh melakukan ijtihad atas berbagai
masalah yang tidak ada nash-nya, dengan cara mengkiaskan
kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya tersebut kepada berbagai
kejadian yang ada nash-nya. Dan para sahabat mengambil perbandingan
secara sebanding. Mereka telah mengkiaskan masalah ke-khalifah-an dengan
imam shalat sehingga Abu Bakar terpilih sebagai khalifah. Mereka mengajukan
alasan qiyas dengan perkataannya, “Abu Bakar telah diridhai Rasulullah untuk
kepentingan agama kita. Apakah kita tidak ridha utuk kepentingan doa kita?”
Dalil-dalil Mutsbit Al-Qiyas dari As-Sunnah
Mutsbit Al-Qiyaas adalah orang-orang yang
menetapkan qiyas, berdasarkan pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, perkataan dan
perbuatan para sahabat, dan lain-lain yang rasional. Kali ini, kita akan
membahas dalil dari As-Sunnah untuk menetapkan qiyas. Hal itu terdapat pada dua
riwayat:
Pertama, Hadits Muadz bin Jabal
Ketika Rasulullah hendak mengutus Muadz
ke Yaman, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
كيف تقضي إذا عرض لك
قضاء ؟
“Bagaimana kamu
memutuskan suatu hukum ketika kamu diminta untuk menentukan satu keputusan?”
Muadz menjawab, “Aku akan
memuruskannya dengan kitab Allah. Jika aku tidak menemukan dalam kitab Allah,
maka dengan Sunnah Rasulullah. Jika aku tidak menemukan dalam Sunnah Rasul-Nya,
maka aku akan melakukan ijtihad dengan pendapatku, dan aku tak akan
menyempitkan ijtihadku.”
IMAM ABU HANIFAH – Sanjungan Ulama Terhadapnya
Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu
Hanifah adalah seorang yang ahli fiqh dan terkenal dengan keilmuannya itu.
Selain itu, dia juga terkenal dengan kewara’annya, banyak harta, sangat
memuliakan dan menghormati orang-orang di sekitarnya, sabar dalam menuntut ilmu
siang dan malam, banyak bangun malam, tidak banyak berbicara kecuali ketika
harus menjelaskan kepada masyarakat tentang halal dan haramnya suatu perkara.
Dia sangat piawai dalam menjelaskan kebenaran hukum dan tidak suka dengan harta
para penguasa.”[1]
Ibnu Ash-Shabah menambahkan, “Jika
ada masalah yang ditanyakan kepadanya, dia berusaha menjawabnya dengan hadits
shahih dan menggunakannya sebagai dalil walaupun berasal dari sahabat dan tabi’in.
Jika tidak ada, maka dia akan menggunakan qiyas. Dan dia adalah orang yang
piawai dalam menggunakan qiyas.”[2]
Dari Abu Bakar bin Iyasy, dia
berkata, “Saudara Sufyan, Umar bin Said meninggal dunia. Lalu kami melayatnya.
Sesampai di sana, ternyata rumahnya telah sesak dengan para pelayat dan
beberapa saudaranya. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Idris. Kemudian,
Abu Hanifah datang dalam majelis itu, ikut berbaur dengan jamaah yang lain.
Ketika Abdullah bin Idris melihat sang imam (Abu Hanifah), ia bergegas
menghampirinya dan memeluknya. Setelah itu ia mempersilahkannya duduk di tempat
duduknya, sedangkan ia sendiri duduk di sampingnya.”
IMAM ABU HANIFAH – Nama, Kelahiran dan Sifat-sifatnya
IMAM ABU HANIFAH – Nama,
Kelahiran dan Sifat-sifatnya
Namanya:
An-Nu’man bin Tsabit bin Zauthy At-Taimy Al-Kufy[1],
kepala suku dari Bani Tamim bin Tsa’labah. Ada yang mengatakan bahwa sebab
penamaannya dengan Hanifah (حنيفة) adalah karena ia selalu membawa tinta yang disebut Hanifah
dalam bahasa Irak.
Kelahirannya: Dia
dilahirkan pada tahun 80 Hijriyyah di Kufah, saat pemerintahan Khalifah Abdul
Malik bin Marwan. Pada saat itu dia masih sempat melihat sahabat Anas bin
Malik, ketika Anas dan rombongannya datang ke Kufah. Akan tetapi ada yang
menyangkal berita ini dan mengatakan bahwa berita Imam Abu Hanifah bertemu
dengan sahabat Anas adalah tidak benar.
Subscribe to:
Posts (Atom)