Sunday, February 3, 2013

DAFTAR ARTIKEL


Beberapa Syubhat dari Para Penolak Al-Qiyas



Di antara sikap mereka  (orang-orang yang menolak Al-Qiyas), adalah karena adanya pendapat bahwa al-qiyas itu berdasarkan dugaan (الظن). Sedang sesuatu yang didasari oleh dugaan, hasilnya merupakan dugaan juga.  Dalam hal ini Allah melarang mengikuti orang-orang yang bertumpu dari dugaan.

Firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”[1]

Maka, tidaklah benar hukum berdasarkan al-qiyas karena hanya berdasarkan dugaan.

Hal tersebut merupakan keraguan yang lemah. Sebab yang dilarang adalah mengikuti dugaan dalam hal aqidah. Sedang dalam hal hukum-hukum amaliyyah, kebanyakan dalil yang ada justru bersifat dzanny (dugaan). Jika keraguan itu dapat dibenarkan, maka nash-nash dzanny itu dalalah-nya tak bisa diragukan lantaran mengikuti dugaan (dzann). Berdasarkan konsensus (اتفاق), pendapat tersebut sangat keliru lantaran kebanyakan nash, dalalah-nya adalah dzanny.

Dalil-dalil Mutsbit Al-Qiyas dari Rasio


Mutsbit Al-Qiyaas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas, berdasarkan pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, dan lain-lain yang rasional. Kali ini, kita akan membahas dalil rasional untuk menetapkan qiyas.
Dalil rasional yang mereka gunakan, ada 3 macam:
1.     Allah tidak mensyari’atkan hukum melainkan demi kemaslahatan. Dan kemaslahatan hamba merupakan tujuan akhir bagi pembentukan hukum Islam. Karena itu, jika suatu masalah atau suatu peristiwa yang nash-nya ada illat hukum, maka akan tampak kenyataan adanya hikmah dan keadilan melaksanakan hukum itu, sekaligus sebagai manifestasi kemaslahatan yang menjadi tujuan syaari’ dalam pembentukan hukum. Sudah barang tentu keadilan dan kebijaksanaan Allah akan hilang jika Dia mengharamkan khamr dengan illat memabukkan, tetapi membolehkan minum-minuman yang mempunyai illat seperti khamr, yakni memabukkan. Sebab, menghindari hal-hal yang memabukkan adalah untuk memelihara akal. Sedang upaya pemeliharaannya berarti meninggalkan hal-hal yang memabukkan.
2.      Bahwa nash Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah tidak mungkin bertambah lagi. Padahal, kejadian dan permasalahan yang dihadapi umat manusia selalu berkembang. Karenanya, tidak mungkin nash yang suda tidak akan bertambah itu berdiri sendiri sebagai sumber hukum bagi permasalahan yang takkan pernah habis. Maka, al-qiyas merupakan sumber pembentukan hukum yang berjalan bersama dengan peristiwa-peristiwa baru, sekaligus akan menyibakkan ketentuan hukum syari’at bagi kejadian dan permasalahan tersebut serta bisa menyesuaikan antara pembentukan hukum dengan kemaslahatan.
3.      Al-Qiyas merupakan dalil yang dikuatkan oleh naluri ucapan yang selamat dan benar. Karenanya orang yang melarang minum racun, adalah mengkiaskan dengan larangan minum-minuman yang mengandung racun. Orang yang dilarang berbuat berlebih-lebihan karena perbuatan tersebut mengandung penganiayaan kepada yang lain, dengan demikian, dikiaskan dengan semua perbuatan yang berlebih-lebihan yang mengandung penganiayaan kepada pihak lain. Kiranya manusia tidak pernah berbeda pendapat tentang adanya dua tanda yang sama, juga berlaku pada benda lainnya selama tidak ada yang memisahkan antara kedua benda tersebut.
----------------------------------------

Dinukil dari kitab Ilm Ushuul Al-Fiqh karya Abdul Wahhab Khalaf
Ditulis ulang dengan sedikit perubahan oleh Hasan Al-Jaizy

Dalil-dalil Mutsbit Al-Qiyaas dari Perkataan dan Perbuatan Para Sahabat


Mutsbit Al-Qiyaas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas, berdasarkan pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, dan lain-lain yang rasional. Kali ini, kita akan membahas dalil perkataan atau perbuatan para sahabat untuk menetapkan qiyas.

Perbuatan dan perkataan para sahabat yang membuktikan bahwa al-qiyas merupakan hujjah syar’iyyah. Para sahabat bersungguh-sungguh melakukan ijtihad atas berbagai masalah yang tidak ada nash-nya, dengan cara mengkiaskan kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya tersebut kepada berbagai kejadian yang ada nash-nya. Dan para sahabat mengambil perbandingan secara sebanding. Mereka telah mengkiaskan masalah ke-khalifah-an dengan imam shalat sehingga Abu Bakar terpilih sebagai khalifah. Mereka mengajukan alasan qiyas dengan perkataannya, “Abu Bakar telah diridhai Rasulullah untuk kepentingan agama kita. Apakah kita tidak ridha utuk kepentingan doa kita?”

Dalil-dalil Mutsbit Al-Qiyas dari As-Sunnah


Mutsbit Al-Qiyaas adalah orang-orang yang menetapkan qiyas, berdasarkan pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat, dan lain-lain yang rasional. Kali ini, kita akan membahas dalil dari As-Sunnah untuk menetapkan qiyas. Hal itu terdapat pada dua riwayat:

Pertama, Hadits Muadz bin Jabal

Ketika Rasulullah hendak mengutus Muadz ke Yaman, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

كيف تقضي إذا عرض لك قضاء ؟

“Bagaimana kamu memutuskan suatu hukum ketika kamu diminta untuk menentukan satu keputusan?”

Muadz menjawab, “Aku akan memuruskannya dengan kitab Allah. Jika aku tidak menemukan dalam kitab Allah, maka dengan Sunnah Rasulullah. Jika aku tidak menemukan dalam Sunnah Rasul-Nya, maka aku akan melakukan ijtihad dengan pendapatku, dan aku tak akan menyempitkan ijtihadku.”

IMAM ABU HANIFAH – Sanjungan Ulama Terhadapnya



Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang ahli fiqh dan terkenal dengan keilmuannya itu. Selain itu, dia juga terkenal dengan kewara’annya, banyak harta, sangat memuliakan dan menghormati orang-orang di sekitarnya, sabar dalam menuntut ilmu siang dan malam, banyak bangun malam, tidak banyak berbicara kecuali ketika harus menjelaskan kepada masyarakat tentang halal dan haramnya suatu perkara. Dia sangat piawai dalam menjelaskan kebenaran hukum dan tidak suka dengan harta para penguasa.”[1]

Ibnu Ash-Shabah menambahkan, “Jika ada masalah yang ditanyakan kepadanya, dia berusaha menjawabnya dengan hadits shahih dan menggunakannya sebagai dalil walaupun berasal dari sahabat dan tabi’in. Jika tidak ada, maka dia akan menggunakan qiyas. Dan dia adalah orang yang piawai dalam menggunakan qiyas.”[2]

Dari Abu Bakar bin Iyasy, dia berkata, “Saudara Sufyan, Umar bin Said meninggal dunia. Lalu kami melayatnya. Sesampai di sana, ternyata rumahnya telah sesak dengan para pelayat dan beberapa saudaranya. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Idris. Kemudian, Abu Hanifah datang dalam majelis itu, ikut berbaur dengan jamaah yang lain. Ketika Abdullah bin Idris melihat sang imam (Abu Hanifah), ia bergegas menghampirinya dan memeluknya. Setelah itu ia mempersilahkannya duduk di tempat duduknya, sedangkan ia sendiri duduk di sampingnya.”

IMAM ABU HANIFAH – Nama, Kelahiran dan Sifat-sifatnya


IMAM ABU HANIFAH – Nama, Kelahiran dan Sifat-sifatnya

Namanya: An-Nu’man bin Tsabit bin Zauthy At-Taimy Al-Kufy[1], kepala suku dari Bani Tamim bin Tsa’labah. Ada yang mengatakan bahwa sebab penamaannya dengan Hanifah (حنيفة) adalah karena ia selalu membawa tinta yang disebut Hanifah dalam bahasa Irak.

Kelahirannya: Dia dilahirkan pada tahun 80 Hijriyyah di Kufah, saat pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Pada saat itu dia masih sempat melihat sahabat Anas bin Malik, ketika Anas dan rombongannya datang ke Kufah. Akan tetapi ada yang menyangkal berita ini dan mengatakan bahwa berita Imam Abu Hanifah bertemu dengan sahabat Anas adalah tidak benar.